Kasus Keadilan & Kepercayaan


Kisah Nenek Asyani



Asyani alias Muaris (45) tak kuasa saat menghadiri persidangan di PN Situbondo, Jawa Timur. Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus hilangnya 2 pohon jati milik Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur. Barang bukti 38 batang kayu jati yang diamankan petugas, menyeretnya hingga meja hijau sebagai terdakwa.


Cerita ditangkapnya Nenek Asyani berawal dari enam tahun silam. Nenek Asyani menebang pohon jati yang diyakininya berada di lahan pribadi. Berdasarkan informasi yang dihimpun, kayu yang ditebang itu disimpan di dalam rumah dan rencananya mau dibuat tempat duduk untuk sang suami tercinta.

Tetapi karena biaya untuk pengerjaannya kurang, akhirnya niat membuatkan sesuatu yang berguna untuk suaminya itu baru terlaksana tahun 2014. Nah, saat kayu-kayu bakalan ini mau dibawa ke tukang kayu Cipto alias Pit bin Magiyo (47) untuk dikerjakan, pihak Perhutani memergokinya.

Terpisah, Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jatim Yahya Amin berawal dari laporan Perum Perhutani Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Jatibanteng, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Besuki, Sub-Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Bondowoso Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bondowoso.

Dia menjelaskan, nilai kerugian dari kasus pencurian kedua pohon tersebut Rp 4.323.000. Berdasarkan kejadian itu dilaporkan ke Polsek Jatibanteng sesuai Laporan Polisi setempat Nomor LP/K/11/VII/2014/Res.Sit/Sek.Jatibanteng.

“Sementara, barang bukti yang diamankan sebanyak 38 batang kayu jati olahan (0,125 meter kubik) mempunyai ukuran beragam. Terbesar mencapai 200 x 2 x 15 centimeter dan terkecil 90 x 3 x 8 centimeter,” ungkap Yahya.

Pada kasus tersebut, kata dia, Cipto diduga melakukan tindak pidana memiliki kayu jati hasil hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 huruf d dan m juncto pasal 83 (1) huruf a dan pasal 87 (1) huruf m berdasarkan UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Namun, hasil pemeriksaan di Polsek Jatibanteng menyatakan bahwa kayu tersebut milik Asyani dengan alamat Dusun Kristal RT 02 RW 03 Desa Jatibanteng Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo.


Analisis

Dari kasus ini, kita bisa menilai bahwa hukum di negara kita belum mampu memberikan keadilan kepada rakyat biasa yang tidak punya harta, posisi, dan status yang tinggi. Hukum kita banyak membiarkan kasus-kasus berat jika pelakunya mempunyai harta dan kekuasaan. Orang biasa yang melakukan pelanggaran langsung dijebloskan ke penjara meskipun melakukan pelanggaran kecil. Sedangkan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi sampai milyaran bahkan trilyunan dapat berkeliaran dengan bebas.

Meskipun ada beberapa koruptor yang dipenjara, mereka masih menikmati fasilitas mewah di penjara bahkan lebih mewah dari orang biasa yang tinggal di luar penjara. Kasus ketidakadilan hukum yang dialami nenek Asyani dan rakyat lainnya mencerminkan bahwa hukum di Indonesia itu tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah.


Solusi

Solusi yang tepat adalah kita harus merevisi hukum agar tidak terjadi keberpihakan hukum atau hukum yang berat sebelah. Untuk jalur hukun juga terdapat restorative justice. Restorative justice sendiri merupakan pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan. Baik untuk pelaku tindak pidana maupun korbannya sendiri. tapi yang paling penting menurut saya adalah setiap penegak hukum menggunakan hati nurani nya. Kasus ini tidak pantas untuk dijerat hukum. Apabila para penegak hukum menggunakan hati nuraninya, maka kasus seperti ini tidak akan muncul kembali.

Daftar Pustaka

http://duniabaca.com/kisah-mengharukan-nenek-asyani-yang-dituduh-curi-kayu-jati-hingga-ke-meja-hijau.html


Pembakaran Masjid di Papua


Pembakaran masjid berawal dari peristiwa sepekan lalu. Kata dia, sejumlah jemaat Gereja Gidi melayangkan surat himbauan, isinya berupa pemberitahuan, bahwa pada 13 sampai 17 Juli akan dilaksanakan suatu gelaran keagamaan para jemaat di wilayah tersebut.

Kegiatan jemaat itu mengingatkan larangan agar seluruh kegiatan keagamaan lain, yaitu Islam dan juga Kristen tak membuat kebisingan dan mengusik ketentraman. Jemaat meminta agar gereja dan masjid tak menggunakan pengeras suara dalam peribadatannya. Permintaan tersebut dimintakan jemaat Gereja Gidi dengan tertulis ke semua gereja dan masjid.

Umat Islam ketika itu hendak mendirikan shalat Ied. Namun, aksi protes jemaat Gereja Gidi dihalau oleh kepolisian yang berjaga di sekitar masjid. Halaun aparat keamanan membuat aksi jemaat Gereja nekat. Sasaran kemarahan sebenarnya ialah aparat kepolisian yang berjaga-jaga di masjid.

Kemarahan tersebut direspon dengan tembakan. Diungkapkan Natalius, ada 11 jemaat Gereja Gidi ditembak peluru tajam karena hendak protes. Sampai sekarang, kesebelas pemuda itu masih dirawat. Penembakan tersebut dinilai Natalius semakin memicu amarah jemaat Gereja Gidi. "Terjadilah pembakaran itu. Karena polisi melarang protes di masjid," terang Natalius.


Analisis

Kasus ini terjadi karena adanya kesenjangan agama terutama di daratan Papua. Kasus ini terjadi karena Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) ternyata menolak agama lain di Tolikora. Tidak hanya agama lain namun aliran kristen lain pun dilarang. Hal ini disampaikan oleh kepala BIN bapak Sutiyoso. Hal ini juga terjadi karena tidak meratanya pendataan oleh para menteri terutama Kementerian Dalam Negeri terhadap isu-isu di dalam negeri ini. dan hal ini menunjukan kesenjangan antara pulau di Indonesia.

Solusi

Pemerintah dan BIN harus bisa masuk ke setiap daerah di Indonesia agar tidak terjadi kasus seperti ini lagi. Dengan pemerataan pengawasan tentu akan mudah mengkoordinasikannya dengan pusat sehingga tidak muncul daerah seperti Tolikora lagi.


Daftar Pustaka

http://jejakcandra.blogspot.co.id/2015/07/analisa-pembakaran-masjid-di-tolikara.html
Kasus Keadilan & Kepercayaan Kasus Keadilan & Kepercayaan Reviewed by Fachry Hidayat on June 12, 2016 Rating: 5

No comments:

Business

aaaaa
Powered by Blogger.